Efek Propolis dalam mengontrol kadar gula dan efek anti osteophatic pada tikus diabetes
METODE PENELITIAN
Tikus dewasa albino (di dapat dari rumah binatang di Universitas Dammam, Dammam, Saudi Arabia) dengan berat berkisar 150–300 gram ditempatkan pada suhu konstan (22°C) dengan siklus gelap terang 12 jam dan diberikan makanan dan minuman sesuai dengan standar yang telah ditentukan, sebagaimana Komite Etik Universitas Dammam telah menyetujui protokol tersebut. Penelitian ini membandingkan 60 ekor tikus yang diinjeksi streptozotocin (STZ), dengan 10 tikus sehat yang digunakan sebagai kontrol negatif. Desain studi ekperimental ini terdiri dari 7 grup (n=10 tikus per grup) : (1) tikus non diabetic, yang digunakan sebagai negative control (GI); (2) tikus diabetes yang tidak mendapatkan terapi apapun, digunakan sebagai positive control (GII-1); (3) tikus yang diberikan insulin saja (GII-2); tikus yang diberikan propolis dosis tunggal 0,3 g/kg (GII-3); (5) tikus yang diberikan propolis dosis ganda (0,6g/kg) (GII-4); (6) tikus yang diberikan insulin dan dosis tunggal propolis (0,3g/kb) (GII-5) dan (7) tikus yang diberikan insulin dan dosis ganda (0,6g/kg) (GII-6).
Untuk mendapatkan tikus yang menderita diabetes mellitus tipe I, maka tikus mendapatkan dosis tunggal injeksi intraperitoneal STZ (60mg/kg) yang dilarutkan pada air steril. Tiga hari setelah diinjeksi, dilakukan uji urin untuk mengetahui kadar glukosa dalam urin dengan menggunakan urine strips (warna hijau tua menunjukkan kadar gula ≥500 mg/dL). Kemudian 60 tikus yang telah menderita T1DM tersebut disebar secara acak ke dalam 6 kelompok.
Terapi pada semua tikus tersebut diberikan pada jam 7 pagi setiap harinya selama 6 minggu. Kedua kelompok kontrol negatif dan positif (GI dan GII-1) setiap harinya mendapatkan injeksi normal saline dan 1 ml air yang diberikan melalui rat feeding needle. Kelompok GII-2, GII-5 dan GII-6 mendapatkan insulin (5 IU/kg/hari). Grup II-3 dan GII-5 mendapatkan propolis dosis tunggal (0,3 mg/kg yang dilarutkan dalam larutan aqua) per oral dan grup II-4 dan GII-6 mendapatkan dosis ganda 0,6/kg melalui orogastric metalic needle.
Setelah 6 minggu, semua terapi dihentikan, dan makanan juga diberhentikan 12 jam sebelum akhirnya tikus dikorbankan. Tikus kemudian ditimbang dan dibius dengan injeksi ketamine (50mg/kg). Sampel darah diambil langsung dari aorta abdominal dalam 2 tabung vacutainer. Satu tabung diberikan heparin untuk memisahkan plasma guna studi hormonal, dan tabung satunya tanpa perlakuan digunakan untuk Gula Darah Puasa (GDP) dan dipisahkan serumnya untuk melihat aktivitas anti-oksidan. Plasma dan serum dipisahkan dari sampel darah dengan sentrifugasi 3000 rpm selama 4 menit pada suhu 4°C, hasilnya kemudian disimpan pada suhu -80°C hingga analisa dilakukan.
Sampel Tulang
Setelah pengambilan sampel darah, femur kanan dari masing – masing tikus diambil, kemudian dibersihkan semua jaringan lunaknya, dibersihkan dengan air steril dan dikeringkan pada suhu ruangan selama 24 jam. Semua femur yang telah dikeringkan kemudian ditimbang, dimasukkan kedalam oven 100°C selama 24 jam, kemudian dimasukkan kedalam furnace (semacam incenerator) pada suhu 800°C selama 12 jam. Abu dari masing – masing femur dikumpulkan terpisah, ditimbang, dilarutkan dalam 3 ml nitric oxide 70% kemudian disentrifugasi, supernatan yang dihasilkan kemudian dipisahkan untuk menghitung kadar kalsium (Ca), phosphor (P) dan magnesium (Mg) dengan metode colorimetric standar.
Insulin Plasma, glukagon, calcitonin dan hormon paratiroid
Plasma enzyme-linked immunosorbent assays (ELISAs) digunakan untuk mengestimasi kadar hormon. Insulin ELISA kit yang digunakan untuk menentukan konsentrasi plasma insulin secara kuantitatif pada tikus merupakan one-step sandwich enzyme immunoassay menggunakan dua antibodi monoclonal. Kadar glukagon pankreas ditentukan dengan ELISA kit yang spesifik terhadap antibodi glukagon. Sedangkan parathyroid hormone (PTH) kit adalah ELISA dua sisi yang dapat menentukan konsentrasi kadar hormon paratiroid secara kuantitatif. Calcitonin immunoassay kit adalah alat yang dapat mendeteksi calcitonin dan peptida turunannya.
Kadar serum Gula Darah Puasa (GDP) dan status oxidative
Gula darah puasa ditentukan dengan alat glucometer. Aktivitas superoxide dismutase (SOD) ditentukan melalui teknik ELISA. Aktivitas Catalase (CAT) diukur dengan menggunakan fungsi peroxidativenya. Thiobarbituric acid reactive substances (TBARS) assay kit digunakan untuk mengukur hasil dari reaksi antara malondialdehyde, yang merupakan hasil lipid peroxidation dan TBARS.
Analisa statistik
Semua nilai yang dihasilkan kemudian ditampilkan nilai rata – rata (mean) plus dan minus (standard error of the mean). Perbedaan antara masing – masing mean dianalisa signifikasinya dengan analisa varians menggunakan software SPSS. Masing – masing grup kemudian dibandingkan yang paling rendah signifikasinya dengan tes Fisher, dan p<0.05 dianggap signifikan secara statistik.
Terdapat perbedaan signifikan pada Gula Darah Puasa (GDP), plasma insulin dan glukagon serta rasio insulin-glukagon (I/G) yang terangkum pada tabel I. Nontreated diabetic rats (coded NTD) atau tikus yang tidak mendapatkan terapi memiliki nilai mean yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan semua grup lainnya. Nilai mean GDP pada semua tikus diabetes yang mendapatkan terapi (termasuk yang mendapatkan propolis saja) tidak berbeda signifikan dengan grup kontrol negatif. Meskipun untuk plasma insulin, grup yang mendapatkan terapi nilai meannya berbeda signifikan dengan grup kontrol negatif. Namun, untuk grup yang mendapatkan terapi kombinasi insulin dengan propolis baik dosis tunggal maupun ganda berbeda secara signifikan nilai mean untuk plasma insulinnya dengan grup yang tidak mendapatkan terapi jika dbandingkan dengan yang mendapatkan terapi insulin saja. Sedangkan untuk plasma glukagon, tikus diabetes yang tidak mendapatkan terapi memiliki nilai mean yang berbeda secara signifikan dibandingkan dengan semua grup lainnya. Selain itu semua grup yang mendapatkan terapi propolis memiliki nilai mean plasma glukagon yang berbeda dengan grup kontrol negatif. Terapi dengan propolis dosis ganda dan insulin menunjukkan plasma glukagon yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan terapi insulin atau propolis saja. Hasil yang justru mengejutkan yaitu berkaitan dengan rasio I/G, dimana grup kontrol negatif memiliki nilai mean yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan semua grup, sedangkan dua grup yang diberikan terapi insulin dan propolis memiliki nilai mean yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan grup kontrol positif dan grup yang diberikan terapi insulin atau propolis saja.
Parameter Antioksidan
Nilai rata-rata kadar TBARS, yang merupakan indikator terjadinya lipid peroxidation, ditemukan lebih tinggi signifikan pada tikus diabetes yang tidak mendapatkan terapi dibandingkan dengan grup kontrol negatif. Nilai mean kadar TBARS pada grup yang mendapatkan terapi propolis (dengan atau tanpa insulin) lebih rendah secara signifikan jika dibandingkan dengan tikus diabetes yang tidak mendapatkan terapi. Kadar serum dua enzim anti-oksidan lainnya (CAT dan SOD) ternyata tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara masing-masing grup.
Paratiroidhormon (PTH), Calcitonin dan Mineralisasi Tulang
Hasil dari plasma PTH, Calcitonin dan rasio berat femur/ berat badan (FW/BW) ditampilan pada tabel 2, sedangkan rasio abu femur dengan berat femur/femur (FA/FW), konsentrasi calcium (Ca), phosphorous (P), dan magnesium (Mg) ditunjukkan pada tabel 3.
Diskusi
Penelitian pada tikus dewasa albino ini telah memastikan lebih jauh akan studi-studi sebelumnya bahwa propolis dapat membantu mengontrol hyperglicemia pada model tikus diabetes yang terpapar STZ. Adanya kontrol terhadap kadar gula tersebut dihasilkan karena terapi propolis diasumsikan memberikan stimulasi penyerapan glukosa oleh jaringan pherifer, menghambat pelepasan gula ke sirkulasi darah dan mengurangi absorpsi gula pada usus.
Bagaimanapun juga penelitian kali ini menunjukkan bahwa terapi propolis pada tikus diabetes berhubungan dengan meningkatnya kadar insulin dalam darah dan menurunkan kadar glukagon. Hasil tersebut dapat memperkuat dugaan bahwa mekanisme propolis dalam mengontrol kadar gula adalah melalui penurunan pelepasan glukosa oleh liver dan peningkatan penyerapan glukosa oleh jaringan perifer.
Namun, kemampuan propolis untuk mengembalikan sekresi insulin menjadi normal pada tikus diabetes hanya sebagian saja, sebab kadar insulin pada semua grup yang mendapatkan terapi propolis masih lebih rendah secara signifikan jika dibandingkan grup kontrol negatif (tikus sehat). Meskipun demikian kadar insulin pada tikus diabetes yang mendapatkan terapi propolis jauh lebih tinggi dibandingkan grup tikus diabetes yang tidak mendapatkan terapi apapun. Ada dua teori yang menyebutkan mekanisme propolis dalam meningkatkan sekresi hormon insulin yaitu melalui stimulasi regenerasi sel β dan pencegahan kerusakan sel β lebih lanjut.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa lipid peroxidation adalah oxidative paling berbahaya yang dapat menyebabkan kerusakan sel β pada T1DM. Semua tikus dabetes yang mendapatkan terapi propolis saja, maupun kombinasi insulin dan propolis menunjukkan kadar lipid peroxidation yang lebih rendah secara signifikan bahkan hampir mendekati kadar lipid peroxidation pada tikus sehat. Temuan ini sekaligus memperkuat teori bahwa propolis mencegah kerusakan fungsi sel β yang lebih lanjut.
Studi ini juga menunjukkan penurunan konsentrasi glukagon pada tikus yang mendapatkan terapi propolis dengan peningkatan level rasio I/G, hal ini sekaligus juga memperkuat dugaan bahwa penurunan pelepasan glukosa oleh liver adalah mekanisme penting propolis dalam menurunkan kadar gula darah.
Bukti adanya hubungan langsung antara insulin dengan pembentukan tulang secara vivo masih minim. Studi sebelumnya menjelaskan tentang peranan potensial insulin sebagai agen anabolik pada osteoblastogenesis. Para peneliti telah membuktikan bahwa regenerasi tulang dapat terganggu oleh karena penurunan kadar insulin namun hal tersebut dapat diperbaiki dengan terapi insulin, bahkan meskipun dengan peningkatan kadar gula yang sedikit saja sudah mempengaruhi regenerasi tulang. Dengan demikian pada kondisi diabetes pembentukan regenerasi tulang terganggu sehingga dapat menyebabkan terjadi-nya kehilangan massa tulang (bone loss).
Pada tikus diabetes yang tidak mendapatkan terapi menunjukkan kadar insulin yang hanya 10% dibandingkan tikus sehat, yang sekaligus menunjukkan adanya penurunan massa tulang ditandai dengan rendahnya rasio berat femur/berat badan (FW/BW), demikian juga rendahnya kadar Ca, P dan Mg pada tulang. Bahkan kadar Ca menurun hingga 50% sedangkan P menurun hingga 30%. Temuan ini membuktikan bahwa regenerasi tulang terganggu oleh karena turunnya kadar insulin dalam tubuh.
Pada penelitian ini, tikus diabetes yang mendapatkan terapi propolis (dengan atau tanpa insulin) menunjukkan peningkatan rasio FW/BW dibandingkan dengan tikus sakit maupun tikus sehat, hal ini menunjukkan peningkatan massa tulang. Sebaliknya hanya tikus diabetes yang mendapatkan terapi propolis dan insulin saja yang menunjukkan peningkatan signifikan rasio abu femur/berat femur (FA/FW) jika dibandingkan dengan tikus sakit. Namun hasil yang sangat mengejutkan adalah bahwa semua grup yang mendapatkan terapi propolis (dengan atau tanpa insulin) menunjukkan nilai kalsium dan magnesium yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan tikus diabetes yang tidak mendapatkan terapi ataupun mendapatkan terapi insulin saja.
Grup tikus diabetes juga menunjukkan peningkatan signifikan serum PTH dan kadar calcitonin dibandingkan dengan tikus sehat. Peningkatan PTH adalah faktor lainnya yang menyebabkan hilangnya massa tulang, melalui osteolysis maupun resorption. Peningkatan serum PTH pada tikus diabetes dapat disebabkan oleh peningkatan eksresi Ca bersamaan dengan glycosuri dan penurunan absorbsi Ca yang disebabkan oleh karena defisiensi vitamin D. Mekanisme yang menyebabkan peningkatan konsentrasi calcitonin pada tikus diabetes dan kembalinya kadar calcitonin hingga normal pada tikus diabetes yang mendapatkan terapi masih belum diketahui dengan jelas, sehingga membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Pada penelitian ini, propolis menunjukkan efek positif yang luar biasa pada peningkatan mineral tulang, khususnya bila dikombinasikan dengan insulin. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa propolis memiliki efek menghambat osteoclast, yang memperlambat osteoclastogenesis dibandingkan dengan insulin dan peranan efek anabolic pada osteoblast. Studi lainnya menunjukkan bahwa propolis menghambat tahap akhir maturasi osteoclast, termasuk mencegah osteoclast membentuk sel raksasa (giant cells). Pada studi molecular sebelumnya, telah membuktikan bahwa propolis memiliki efek ganda pada osteoclast, yaitu menghambat osteoclastogenesis dan menstimulasi apoptosis. Penelitian yang sama juga melaporkan bahwa hyperglycemia memberikan konstribusi negatif terhadap tulang melalui mekanisme peningkatan reactive oxygen species (ROS), aktivitas polyol pathway, dan aktivitas protein kinase C.
Pada penelitian ini, peneliti membuktikan bahwa dengan pemberian terapi propolis selain dapat mengontrol kadar gula juga memiliki peranan penting dalam pencegahan hilangnya massa tulang. Khususnya pada terapi kombinasi propolis dosis ganda dan insulin mampu mengembalikan mineralisasi tulang hingga mendekati normal. Dengan demikian, ketika diberikan bersama – sama insulin dan propolis dapat menjadi terapi yang menjanjikan melawan hilangnya massa tulang pada T1DM.